MATERI DASAR HUKUM PIDANA

1. Pengertian Hukum PidanaHukum Pidana adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang menentukan perbuatan apa yang dilarang dan termasuk kedalam tindak pidana, serta menentukan hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap yang melakukannya.Menurut Prof. Moeljatno, S.H., Hukum Pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :
  1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan dan yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.
  1. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
  1. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
Sedangkan menurut Sudarsono, pada prinsipnya Hukum Pidana adalah yang mengatur tentang kejahatan dan pelanggaran terhadap kepentingan umum dan perbuatan tersebut diancam dengan pidana yang merupakan suatu penderitaan.Dengan demikian hukum pidana bukanlah mengadakan norma hukum sendiri, melainkan sudah terletak pada norma lain dan sanksi pidana. Diadakan untuk menguatkan ditaatinya norma-norma lain tersebut, misalnya norma agama dan kesusilaan.Sumber Hukum Pidana dapat dibedakan atas sumber hukum tertulis dan sumber hukum yang tidak tertulis. Di Indonesia sendiri, kita belum memiliki Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional, sehingga masih diberlakukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana warisan dari pemerintah kolonial Hindia Belanda. Adapun sistematika Kitab Undang-Undang Hukum Pidana antara lain :
  1. Buku I Tentang Ketentuan Umum (Pasal 1-103).
  1. Buku II Tentang Kejahatan (Pasal 104-488).
  1. Buku III Tentang Pelanggaran (Pasal 489-569).
Dan juga ada beberapa Undang-undang yang mengatur tindak pidana khusus yang dibuat setelah kemerdekaan antara lain:
  1. UU No. 8 Drt Tahun 1955 Tentang tindak Pidana Imigrasi.
  1. UU No. 9 Tahun 1967 Tentang Norkoba.
  1. UU No. 16 Tahun Tahun 2003 Tentang Anti Terorisme, dll.
Ketentuan-ketentuan Hukum Pidana, selain termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maupun UU Khusus, juga terdapat dalam berbagai Peraturan Perundang-Undangan lainnya, seperti UU. No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No. 9 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta dan sebagainya.2. Jenis-jenis hukum pidanaJenis-jenis hukum pidana dapat dilahat dari beberpa segi di antaranya :
  1. Hukum pidana dalam arti objektif dan dalam arti subjektif
Hukum pidana objektif (ius poenale) adalah hukum pidana yang dilihat dari aspek larangan-larangan berbuat, yaitu larangan yang disertai dengan ancaman pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Jadi hukum pidana objektif memiliki arti yang sama dengan hukum pidana materiil. Sebagaimana dirumuskan oleh Hazewinkel Suringa, ius poenali adalah sejumlah peraturan hukum yang mengandung larangan dan perintah dan keharusan, yang terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana bagi si pelanggarnya. Sementara hukum pidana subjektif (ius poeniendi) sebagai aspek subjektifnya hukum pidana, merupakan aturan yang berisi atau mengenai hak atau kewenangan negara :
  1. Untuk menentukan larangan-larangan dalam upaya mencapai ketertiban umum.
  1. Untuk memberlakukan (sifat memaksanya) hukum pidana yang wujudnya dengan menjatuhkan pidana kepada si pelanggar larangan tersebut, serta
  1. Untuk menjalankan sanksi pidana yang telah dijatuhkan oleh negara pada si pelanggar hukum pidana tadi.
Jadi dari segi subjektif, negara memiliki dan memegang tiga kekuasaan/hak fundamental yakni :
  1. Hak untuk menentukan perbuatan-perbuatan mana yang dilarang dan menentukan bentuk serta berat ringannya ancaman pidana (sanksi pidana) bagi pelanggarnya.
  1. Hak untuk menjalankan hukum pidana dengan menuntut dan menjatuhkan pidana pada si pelanggar aturan hukum pidana yang telah dibentuk tadi, dan
  1. Hak untuk menjalankan sanksi pidana yang telah dijatuhkan pada pembuatnya.
Walaupun negara mempunyai kewenangan/kekuasaan di atas namun tetap dibatasi, jika tidak maka negara akan melakukan kesewenang-wenangan sehingga menimbulkan ketidakadilan, ketidaktentraman dan ketidaktenangan warga di antara negara. Pembatasan tersebut melalui koridor-koridor hukum yang ditetapkan dalam hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Juga dibatasi oleh hukum formil artinya tindakan-tindakan nyata negara sebelum, pada saat, dan setelah menjatuhkan pidana serta menjalankannya itu diatur dan ditentukan secara rinci dan cermat, yang pada garis besarnya berupa tindakan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan dengan pembuktian dan pemutusan (vonis) dan barulah vonis dijalankan (eksekusi). Perlakuan-perlakuan negara terhadap pesakitan/pelaku pelanggaran harus menurut aturan yang sudah ditetapkan dalam hukum pidana formil.
  1. Hukum Pidana Materil dan Hukum Pidana Formil
Tentang hukum pidana materil dan hukum pidana formil akan dijelaskan menurut pendapat ahli di bawah ini :
  1. Van Hamel memberikan perbedaan antara hukum pidana materil dengan hukum pidana formil. Hukum pidana materil itu menunjukkan asas-asas dan peraturan-peraturan yang mengaitkan pelanggaran hukum itu dengan hukuman. Sedangkan hukum pidana formil menunjukkan bentuk-bentuk dan jangka-jangka waktu yang mengikat pemberlakuan hukum pidana materil.
  1. Van Hattum, hukum pidana materil adalah semua ketentuan dan peraturan yang menujukkan tentang tindakan-tindakan yang mana adalah merupakan tindakan-tindakan yang dapat dihukum, siapakah orangnya yang dapat dipertanggung-jawabkan terhadap tindakan-tindakan tersebut dan hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan terhadap orang tersebut (hukum pidana materil kadang disebut juga hukum pidana abstrak). Sedangkan hukum pidana formil memuat peraturan-peraturan yang mengatur tentang bagaimana caranya hukum pidana yang bersifat abstrak itu harus diberlakukan secara nyata. Biasanya orang menyebut hukum pidana formil adalah hukum acara pidana.
  1. Simons, hukum pidana materil itu memuat ketentuan-ketentuan dan rumusan-rumusan dari tindak pidana, peraturan-peraturan mengenai syarat tentang bilamana seseorang itu menjadi dapat dihukum, penunjukkan dari orang-orang yang dapat dihukum dan ketentuan-ketentuan mengenai hukuman-hukumannya sendiri; jadi menentukan tentang bilamana seseorang itu dapat dihukum, siapa yang dapat dihukum dan bilamana hukuman tersebut dapat dijatuhkan.
 
  1. Hukum Pidana Umum dan Hukum Pidana Khusus
Hukum pidana umum adalah hukum pidana yang ditujukan dan berlaku untuk semua warga negara (subjek hukum) dan tidak membedabedakan kualitas pribadi subjek hukum tertentu. Setiap warga negara harus tunduk dan patuh terhadap hukum pidana umum. Hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang dibentuk oleh negara yang hanya dikhususkan berlaku bagi subjek hukum tertentu saja. Misalnya hukum pidana yang dimuat dalam BAB XXVIII buku II KUHP tentang kejahatan jabatan yang hanya diperuntukkan dan berlaku bagi warga negara yang berkualitas sebagai pegawai negeri saja atau hukum pidana yang termuat dalam Kitab UU Hukum Pidana Tentara (KUHPT) yang hanya berlaku bagi subjek hukum anggota TNI saja.Jika ditinjau dari dasar wilayah berlakunya hukum, maka dapat dibedakan antara hukum pidana umum dan hukum pidana lokal. Hukum pidana umum adalah hukum pidana yang dibentuk oleh pemerintahan negara pusat yang berlaku bagi subjek hukum yang berada dan berbuat melanggar larangan hukum pidana di seluruh wilayah hukum negara. Contohnya adalah hukum pidana yang dimuat dalam KUHP, berlaku untuk seluruh wilayah hukum negara RI (asas toritorialitet, pasal 2 KUHP). Sedangkan hukum pidana lokal adalah hukum pidana yang dibuat oleh pemerintah daerah yang berlaku bagi subjek hukum yang melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana di dalam wilayah hukum pemerintahan daerah tersebut. Hukum pidana lokal dapat dijumpai di dalam PERDA, baik di tingkat propinsi, kabupaten maupun pemerintahan kota. Menurut Paf. Lamintang, penjatuhan-penjatuhan hukum seperti tlah diancamkan terhadap setiap pelanggar dan peraturan-peraturan daerah itu secara mutlak harus dilakukan oleh pengadilan.Dengan demikian, maka masalah terbukti atau tidaknya seseorang yang telah dituduh melakukan suatu pelanggaran terhadap peraturan daerah, pengadilanlah satu-satunya lembaga yang berwenang untuk memutuskannya. Dan juga mengenai hukuman yang bagaimana yang akan dijatuhkan kepada si pelanggar dan mengenai akibat-akibat hukum lainnya seperti dirampasnya barang-barang bukti untuk keuntungan negara, dikembalikannya barang-barang bukti kepada terhukum dan lain-lainnya, hanya pengadilanlah yang berwenang untuk memutuskannya. Tidak seorangpun termasuk pemerintah-pemerintah daerah dan alat-alat kekuasaannya boleh menahan, memeriksa orang yang dituduh telah melakukan suatu pelanggaran terhadap barang-barangnya tanpa mengajukan mereka ke pengadilan untuk diadili. Dalam melakukan penahanan, pemeriksaan, dan penyitaan-penyitaan, pemerintah-pemerintah daerah berikut alat kekuasaannya, terikat pada ketentuan-ketentuan seperti yang telah diatur di dalam UU No. 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana. Setiap tindakan yang diambil oleh alat-alat negara dengan maksud menghukum seseorang yang telah dituduh melakukan suatu pelanggaran terhadap peraturan-peraturan daerah atau terhadap ketentuan-ketentuan pidana menurut UU tanpa bantuan dari pengadilan, pada hakikatnya merupakan suatu perbuatan main hakim sendiri (eigenrichting) yang dilarang oleh hukum. Sebagaimana diungkapkan oleh Hazewinkel Suringa: “di dalam hukum pidana baik negara maupun badan yang bersifat hukum publik yang lebih rendah lainya, tidak berwenang main hakim sendiri”. Maka dapat dikatakan telah terjadi perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan jika dilakukan oleh penguasa disebut onrechtmatige overheidsdaad (perbuatan melanggar hukum oleh penguasa).
  1. Hukum Pidana Tertulis dan Hukum Pidana Tidak Tertulis
Hukum pidana tertulis adalah hukum pidana undang-undang yang bersumber dari hukum yang terkodifikasi yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan bersumber dari hukum yang di luar kodifikasi yang tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan. Hukum pidana yang berlaku dan dijalankan oleh negara adalah hukum tertulis saja, karena dalam hal berlakunya hukum pidana tunduk pada asas legalitas sebagaimana tertuang dalam Pasal (1) KUHP berbunyi “tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan”.Sementara itu hukum pidana tidak tertulis adalah sebagai wujud dari keanekaragaman Hukum Adat di Indonesia, yang masih diakui sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila. Hukum adat hukum pidana pada umumnya tidak tertulis. Menurut Wirjono, tidak ada hukum adat kebiasaan (gewoonterecht) dalam rangkaian hukum pidana. Ini resminya menurut Pasal 1 KUHP, tetapi sekiranya di desa-desa daerah pedalaman di Indonesia ada sisa-sisa dari peraturan kepidanaan yang berdasar atas kebiasaan dan yang secara konkrit, mungkin sekali hal ini berpengaruh dalam menafsirkan pasal-pasal dari KUHP. Namun demikian ada satu dasar hukum yang dapat  memberi kemungkinan untuk memberlakukan hukum pidana adat (tidak tertulis) dalam arti yang sangat terbatas berdasarkan Pasal 5 (3b) UU No. 1/Drt/1951. Dengan demikian sistem hukum pidana di Indonesia mengenal adanya hukum pidana tertulis sebagai diamanatkan di dalam Pasal 1 KUHP, akan tetapi dengan tidak mengesampingkan asas legalitas dikenal juga hukum pidana tidak tertulis sebagai akibat dari masih diakuinya hukum yang hidup di dalam masyarakat yaitu yang berupa hukum adat.
  1. Hukum Pidana Yang DiKodifikasikan dan Tidak Dikodifikasikan
Hukum pidana yang dikodifikasikan (codificatie, Belanda) adalah hukum pidana tersebut telah disusun secara sistematis dan lengkap dalam kitab undang-undang, misalnya Kitab  Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM). Sedangkan yang termasuk dalam hukum pidana tidak terkodifikasi adalah berbagai ketentuan pidana yang tersebar di luar KUHP, seperti UU Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undangundang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), UU (drt) No. 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, UU (drt) No. 12 Tahun 1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak, UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan peraturan lainnya yang di dalamnya mengandung sanksi berupa pidana.3. Kaitan hukum pidana dengan bidang hukum lainHukum pidana adalah bagian dari system hukum atau system norma-norma. Sebagai suatu system, hukum pidana memiliki sifat umum dari suatu system, yaitu menyeluruh, memiliki beberapa elemen, semua elemen saling terkait dan kemudian membentuk struktur.Ilmu pengetahuan membutuhkan bantuan dan keterangan-keterangan dari ilmu pengetahuan lain, demikian pula hukum pidana yang mempunyai ilmu-ilmu lain untuk melengkapi dan memiliki hubungan yang sangat erat yang saling mendukung satu sama lain. Dalam hal ini kami membahas hubungan hukum pidana dengan ilmu lain yang di antaranya: sosiologi, kriminologi, filsafat, dan politik, yang kesemua itu memiliki hubungan satu sama lain. Namun dengan demikian ada beberapa yang terdapat titik perbedaanya, seperti dalam hal kriminologi selain ada hubungan dengan hukum pidana, namun terdapat pula perbedaannya. Salah satu titik perbedaannya ialah objeknya. Objek hukum pidana menunjukkan pada apa yang dapat dipidana menurut norma-norma hukum pidana yang berlaku, sedangkan pada kriminologi tertuju pada orang yang melakukan kejahatan, atau yang melanggar hukum.
  1. Filsafat
Filsafat berasal dari kata “philo” dan “Sophia” yang berarti mencinta (pecinta) kebijaksanaan. Filsafat adalah induk dari semua ilmu, karena filsafat hukum membahas masalah yang paling fundalmental yang timbul dalam hukum. Filsafat merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang pertanyaan-pertanyaan yang mendasar. Atau ilmu pengetahuan tentang hakikat hukum. Filsafat hukum berusaha mencari sesuatu “rechts ideal” yang dapat menjadi “ dasar hukum” dan “etis” bagi berlakunya system hukum positif sesuatu masyarakat. Pada hakekatnya filsafat merenungkan nilai-nilai hukum pidana, berusaha merumuskan dan menyerasikan nilai-nilai yang berpasangan, tetapi yang mungkin bertentangan. Objek dalam dogmatik hukum pidana adalah hukum pidana positif, yang mencakup kaidah-kaidah dan sistem sanksi. Ilmu tersebut bertujuan untuk mengadakan analisis dan sistematis kaidah-kaidah hukum pidana untuk kepentingan  penerapan yang benar. Ilmu tersebut juga berusaha untuk menemukan asas-asas hukum pidana yang menjadi dasar dari hukum pidana positif., yang kemudian menjadi patokan bagi perumusan serta penyusunan secara sistematis.
  1. Sosiologi
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang kemasyarakatan. Sosiologi hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara empiris dan analitis mempelajari timbale balik antara hukum sebagai gejala sosial, dengan gejala-gejala sosial lain. Sosiologi hukum bertujuan untuk memberi penjelasan terhadap praktek-praktek hukum, dan juga senantiasa menguji keabsahan empiris, dengan usaha mengetahui antara isi kaidah dan didalam kenyataannya. Hubungan dengan hukum pidana, sosiologi memusatkan perhatian pada sebab-sebab timbulnya peraturan-peraturan pidana tertentu, dan mencari cara cara untuk memberantasnya. Penyelidikan tentang sebab dari kejahatan ini dapat di cari pada diri orang ( keadaan badan dan jiwanya) atau pada keadaan masyarakat serta efektifitasnya di dalam masyarakat.Ruang lingkup sosiologi hukum pidana adalah sebagai berikut:
  1. Proses mempengaruhi antara kaidah-kaidah hukum pidana dan wargamasyarakat;
  1. Efek dari proses kriminalisasi serta deskriminalisasi;
  1. Identifikasi terhadap mekanisme produk dari hukum pidana;
  1. Identifikasi terhadap kedudukkan serta peranan para penegak hukum;
  1. Efek dari peraturan-peraturan pidana terhadap kejahatan, terutama polaprilakunya.
Dalam masalah pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya mengandung makna suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik dan sosio- cultural. pembaharuan hukum pidana juga di perlukan kebijakan sosial, upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai tujuan kesejahteraan masyarakat.
  1. Kriminologi
Secara etimologis kriminologi terdiri dari dua kata yaitu “krimino”(kejahatan), dan “logos”(ilmu pengetahuan), jadi kriminologi adalah ilmu yang mempelajari tentang kejahatan. Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang meneliti delikuensi dan kejahatan, sebagai suatu gejala sosial. Jadi, ruang lingkupnya adalah proses terjadinya hukum pidana, penyimpangan terhadap hukum atau pelanggarannya, dan reaksi terhadap pelanggaran-pelanggaran tersebut. Kriminologi adalah ilmu yang mempelajari tentang kejahatan, yang lazimnya mencari sebab-sebabnya sampai timbul kejahatan dan cara menghadapi kejahatan dan tindakan / reaksi yang diperlukan.Kriminologi sebagai ilmu yang membantu hukum pidana positif dan peradilan pidana. Hasil-hasil penyelidikan dan pembahasan kriminologi sangat penting bagi menjalankan hukum pidana positif, pentingnya kriminologi itu bagi hukum pidana positif dalam usaha menciptakan Ius Countituendum pidana.Didalam kriminologi hakikatnya terkandung sejumlah ilmu pengetahuan, antara lain:
  • Antropologi criminal, yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari pribadi penjahat. Kajian utamanya lebih kepada cirri-ciri jasmaniah penjahat.
  • Sosiologi criminal, yaitu pengetahuan yang mempelajari kriminalitas sebagai gejala kemasyarakatan, disini dilihat lebih kepada kondisi sosial yang menyebabkan terjadinya kejahatan.
  • Psikologi criminal, yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari gejala-gejala kejiwaan seseorang di dalam terjadinya suatu kejahatan.
  • Psiko dan neuropatologi criminal, yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari penjahat yang menderita penyakit jiwa.
  • Penology, yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari timbul berkembang nya sanksi pidana serta arti dan mamfaat sanksi pidana itu.
  • Kriminalistik, yaitu ilmu pengetahuan terapan yang mempelajari tehnik-tehnik kejahatan dan tehnik-tehnik penyelidikan.
Objek kriminologi tertuju pada orang yang melakukan kejahatan, tujuannya agar mengerti sebab-sebab seseorang melakukan kejahatan. Kriminologi maupun hukum pidana memiliki kedudukan yang sejajar sebagai bagian dari ilmu pengetahuan. Penanggulangan kejahatan melalui hukum pidana tidak semata-mata mengandalakan doktrin  atau teori dalam hukum pidana sendri,tetapi juga memperhatikan kajian dalam kriminologi khusunya mengenai kejahatan. Sebab kriminologi di gunakan untuk member petunjuk bagaimana masyarakat dapat menanggulangi dan menghindari kejahatan dengan hasil baik. Maka dengan demikian dapat ditentukan secara tepat pula kapan hukum pidana harus di gunakanuntuk menanggulangi kejahatan tersebut, dengan kata lain krimonologi membrikan kontribusinya dalam menentukan ruang lingkup kejahatan atau prilaku yang dapat di hukum. Dalam pembaharuan hukum pidana juga membutuhkan pendekatan dari kebijakan criminal, upaya perlindungan masyarakat, (khususnya upaya penanggulangan kejahatan).
  1. Politik
Menurut Sudarto makna dari politik adalah kebijakan yang merupakan sinonim dari policy.  Pada dasarnya hukum merupakan produk politik. hubungan  hukum pidana, dalam hal politik bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat Undang-Undang (kebijakan legislative), kebijakan aplikasi (kebijakan yudikatif) dan pelaksana hukum pidana (kebijakan eksekutif).Politik juga merupakan Cabang ilmu pengetahuan yang berusaha membuat kaedah-kaedah yang akan menentukan bagaimana seharusnya prilakuan manusia, politik hukum meneliti perubahan-perubahan apa yang harus diadakan dalam hukum positif, supaya sesuai dengan kenyataan sosial. Politik hukum dapat dikatakan meneruskan perkembangan hukum dengan berusaha menghilangkan ketegangan antara “hukum positif” dengan “sosial reality”. Politik hukum membuat suatu “ius constituendum” dan berusaha agar “ius constituendum” tersebut kemudian menjadi “ius constitutum” baru.Dari pembahasan di atas dapat di simpulkan beberapa poin yang penting mengenai hubungan Hukum Pidana dengan Ilmu Lain:
  1. Sosiologi
Hubungan dengan hukum pidana, memusatkan perhatian pada sebab-sebab timbulnya peraturan-peraturan pidana tertentu dan mencari cara cara untuk memberantasnya.
  1. Kriminologi
Hubungan dengan hukum pidana, Kriminologi maupun hukum pidana memiliki kedudukan yang sejajar sebagai bagian dari ilmu pengetahuan. Penanggulangan kejahatan melalui hukum pidana tidak semata-mata mengandalakan doktrin  atau teori dalam hukum pidana sendri,tetapi juga memperhatikan kajian dalam kriminologi khusunya mengenai kejahatan. Sebab kriminologi di gunakan untuk memberi petunjuk bagaimana masyarakat dapat menanggulangi dan menghindari kejahatan dengan hasil baik. Maka dengan demikian dapat ditentukan secara tepat pula kapan hukum pidana harus di gunakan untuk menanggulangi kejahatan tersebut, kriminologi juga membrikan kontribusinya dalam menentukan ruang lingkup kejahatan atau prilaku yang dapat di hukum.
  1. Filsafat
Hubungan dengan hukum pidana, filsafaf lebih kepada mengadakan analisis dan sistematis kaidah-kaidah hukum pidana untuk kepentingan  penerapan yang benar. Ilmu filsafat juga berusaha untuk menemukan asas-asas hukum pidana yang menjadi dasar dari hukum pidana positif., yang kemudian menjadi patokan bagi perumusan serta penyusunan secara sistematis.
  1. Politik
Hubungan dengan hukum pidana, hukum pada dasarnya produk dari politik, politik juga meneliti perubahan-perubahan apa yang harus diadakan dalam hukum positif, supaya sesuai dengan kenyataan sosial. Dan meneruskan perkembangan hukum dengan berusaha menghilangkan ketegangan antara “hukum positif” dengan “sosial reality”. Politik hukum membuat suatu “ius constituendum” dan berusaha agar “ius constituendum” tersebut kemudian menjadi “ius constitutum” baru. Selain itu pula politik juga membuat bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat Undang-Undang (kebijakan legislative), kebijakan aplikasi (kebijakan yudikatif) dan pelaksana hukum pidana (kebijakan eksekutif).
  1. Masalah pembaharuan hukum pidana
Sosiologi, kriminologi, filsafat. Dan politik, juga berhubungan dengan pembaharuan hukum pidana itu sendiri, selain itu pembahuruan hukum pidana harus juga melalui pendekatan nilai-nilai. Dalam pendekatan nilai ini pada hakikatnya merupakan upaya melakukan peninjauan dan penilaian kembali, nilai-nilai sosio-politik, sosio-filosofik, dan sosio-kultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normative dan subtantif hukum pidana yang dicita-citakan.4. Sejarah Kitab Undang-undang Hukum PindanaKUHP atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana adalah kitab undang-undang hukum yang berlaku sebagai dasar hukum di Indonesia. KUHP merupakan bagian hukum politik yang berlaku di Indonesia, dan terbagi menjadi dua bagian: hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Semua hal yang berkaitan dengan hukum pidana materiil adalah tentang tindak pidana, pelaku tindak pidana dan pidana (sanksi). Sedangkan, hukum pidana formil adalah hukum yang mengatur tentang pelaksanaan hukum pidana materiil.KUHP atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana adalah peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perbuatan pidana secara materiil di Indonesia. KUHP yang sekarang diberlakukan adalah KUHP yang bersumber dari hukum kolonial Belanda, yakni Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie. Pengesahannya dilakukan melalui Staatsblad Tahun 1915 nomor 732 dan mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1918. Setelah kemerdekaan, KUHP tetap diberlakukan disertai penyelarasan kondisi berupa pencabutan pasal-pasal yang tidak lagi relevan. Hal ini berdasarkan pada Ketentuan Peralihan Pasal II UUD 1945 yang menyatakan bahwa: “Segala badan negara dan peraturan yang masih ada langsung diberlakukan selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.” Ketentuan tersebutlah yang kemudian menjadi dasar hukum pemberlakuan semua peraturan perundang-undangan pada masa kolonial dan pada masa kemerdekaan.Untuk menegaskan kembali pemberlakuan hukum pidana pada masa kolonial tersebut, pada tanggal 26 Februari 1946, pemerintah kemudian mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Undang-Undang inilah yang kemudian dijadikan dasar hukum perubahan Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie menjadiWetboek van Strafrecht (WvS), yang kemudian dikenal dengan nama Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Meskipun demikian, dalam Pasal XVII UU Nomor 2 Tahun 1946 juga terdapat ketentuan yang menyatakan bahwa: “Undang-undang ini mulai berlaku untuk Pulau Jawa dan Madura pada hari diumumkannya dan untuk daerah lain pada hari yang akan ditetapkan oleh Presiden.” Dengan demikian, pemberlakuan Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie menjadiWetboek van Strafrecht hanya terbatas pada wilayah Jawa dan Madura. Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di seluruh wilayah Republik Indonesia baru dilakukan pada tanggal 20 September 1958, dengan diundangkannya UU No. 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang  Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 1 UU No. 7 Tahun 1958 yang berbunyi: “Undang-Undang No. 1 tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia.” Jadi, per tanggal 1 Januari 2013, KUHP tersebut sudah berlaku selama 95 (sembilan puluh lima) tahun.Meskipun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah diberlakukan secara nasional tidak berarti bahwa upaya untuk membuat sistem hukum pidana yang baru terhenti. Upaya melakukan pembaruan hukum pidana terus berjalan semenjak tahun 1958 dengan berdirinya Lembaga Pembinaan Hukum Nasional sebagai upaya untuk membentuk KUHP Nasional yang baru. Seminar Hukum Nasional I yang diadakan pada tahun 1963 telah menghasilkan berbagai resolusi yang antara lain adanya desakan untuk menyelesaikan KUHP Nasional dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Sebenarnya sudah beberapa kali ada usaha perbaikan KUHP dengan pembuatan Rancangan KUHP. Rancangan tersebut antara lain:
  1. Konsep Rancangan Buku I KUHP tahun 1968.
  1. Konsep Rancangan Buku I KUHP tahun 1971.
  1. Konsep Tim Harris, Basaroeddin, dan Situmorang tahun 1981.
  1. Konsep RKUHP tahun 1981/1982 yan diketuai oleh Prof. Soedarto.
  1. Konsep RKUHP tahun 1982/1983.
  1. Konsep RKUHP tahun 1982/1983 yang mengalami perbaikan.
  1. Konsep RKUHP tahun 1982/1983 yang merupakan hasil penyempurnaan tim sampai 27 April 1987 dan disempurnakan lagi sampai pada November 1987.
  1. Konsep RKUHP tahun 1991/1992 yan diketuai oleh Prof. Marjono Reksodiputro.
Adapun isi dari KUHP disusun dalam 3 (tiga) buku, antara lain:
  1. Buku I Aturan Umum(Pasal 1 sampai dengan Pasal 103)
  1. Bab I – Aturan Umum
  1. Bab II – Pidana
  1. Bab III – Hal-Hal yang Menghapuskan, Mengurangi atau Memberatkan Pidana
  1. Bab IV – Percobaan
  1. Bab V – Penyertaan dalam Tindak Pidana
  1. Bab VI – Gabungan Tindak Pidana
  1. Bab VII – Mengajukan dan Menarik Kembali Pengaduan dalam Hal Kejahatan-Kejahatan yang Hanya Dituntut atas Pengaduan
  1. Bab VIII – Hapusnya Kewenangan Menuntut Pidana dan Menjalankan Pidana
  1. Bab IX – Arti Beberapa Istilah yang Dipakai dalam Kitab Undang- Undang
  1. Aturan Penutup
  1. Buku II Kejahatan(Pasal 104 sampai dengan Pasal 488)
  1. Bab I – Kejahatan Terhadap Keamanan Negara
  1. Bab II – Kejahatan-Kejahatan Terhadap Martabat Presiden Dan Wakil Presiden
  1. Bab III – Kejahatan-Kejahatan Terhadap Negara Sahabat Dan Terhadap Kepala Negara Sahabat Serta Wakilnya
  1. Bab IV – Kejahatan Terhadap Melakukan Kewajiban Dan Hak Kenegaraan
  1. Bab V – Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum
  1. Bab VI – Perkelahian Tanding
  1. Bab VII – Kejahatan Yang Membahayakan Keamanan Umum Bagi Orang Atau Barang
  1. Bab VIII – Kejahatan Terhadap Penguasa Umum
  1. Bab IX – Sumpah Palsu Dan Keterangan Palsu
  1. Bab X – Pemalsuan Mata Uang Dan Uang Kertas
  1. Bab XI – Pemalsuan Meterai Dan Merek
  1. Bab XII – Pemalsuan Surat
  1. Bab XIII – Kejahatan Terhadap Asal-Usul Dan Perkawinan
  1. Bab XIV – Kejahatan Terhadap Kesusilaan
  1. Bab XV – Meninggalkan Orang Yang Perlu Ditolong
  1. Bab XVI – Penghinaan
  1. Bab XVII – Membuka Rahasia
  1. Bab XVIII – Kejahatan Terhadap Kemerdekaan Orang
  1. Bab XIX – Kejahatan Terhadap Nyawa
  1. Bab XX – Penganiayaan
  1. Bab XXI – Menadnyebabkan Mati Atau Luka-Luka Karena Kealpaan
  1. Bab XXII – Pencurian
  1. Bab XXIII – Pemerasan Dan Pengancaman
  1. Bab XXIV – Penggelapan
  1. Bab XXV – Perbuatan Curang
  1. Bab XXVI – Perbuatan Merugikan Pemiutang Atau Orang Yang Mempunyai Hak
  1. Bab XXVII – Menghancurkan Atau Merusakkan Barang
  1. Bab XXVIII – Kejahatan Jabatan
  1. Bab XXIX – Kejahatan Pelayaran
  1. Bab XXIX A – Kejahatan Penerbangan Dan Kejahatan Terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan (UU No. 4 Tahun 1976)
  1. Bab XXX – Peahan Penerbitan Dan Percetakan
  1. Bab XXXI – Aturan Tentang Pengulangan Kejahatan Yang Bersangkutan Dengan Berbagai-Bagai Bab
  1. Buku III Pelanggaran(Pasal 489 sampai dengan Pasal 569)
  1. Bab I – Tentang Pelanggaran Keamanan Umum Bagi Orang Atau Barang Dan Kesehatan
  1. Bab II – Pelanggaran Ketertiban Umum
  1. Bab III – Pelanggaran Terhadap Penguasa Umum
  1. Bab IV – Pelanggaran Mengenai Asal-Usul Dan Perkawinan
  1. Bab V – Pelanggaran Terhadap Orang Yang Memerlukan Pertolongan
  1. Bab VI – Pelanggaran Kesusilaan
  1. Bab VII – Pelanggaran Mengenai Tanah, Tanaman, Dan Pekarangan
  1. Bab VIII – Pelanggaran Jabatan
  1. Bab IX – Pelanggaran Pelayaran
5. Hubungan KUHP dengan ketentuan Hukum Pidana di luar KUHPHubungan antara hukum pidana dalam KUHP dan ketentuan hukum pidana di luar KUHP yaitu KUHP pada intinya terdiri dua bagian: (1) Bagian Umum terdapat dalam ketentuan buku kesatu sebagai asas/prinsip dasar “bangunan” hukum pidana Indonesia, (2) Bagian Khusus terdapat dalam ketentuan buku kedua dan ketiga yang memuat aturan khusus mengenai tindak pidana yang berupa kejahatan dan pelanggaran. Maka ilmu hukum pidana juga terbagi 2 yaitu (1) Ilmu hukum pidana umum, yang mempelajari pengertian dan asas-asas hukum pidana yang menjadi dasar seluruh hukum pidana, dan (2) Ilmu hukum pidana khusus, yang mempelajari delik-delik/tindak pidana-tindak pidana khusus.
  1. Pengaturan Hukum Pidana dalam KUHP
Secara sitematis isi KUHP Indonesia yang berlaku sekarang ini, semula bernamaWetboek van Strafrecht Nedeherland Indhie (W.v.S.N.I) terdiri tiga buku yaitu:
  • Buku kesatu,berisi tentang ketentuan-ketentuan umum yang berupa asas-asas atau prinsip-prinsip dasar hukum pidana Indonesia (pasal 1  s.d. Pasal 103).
  • Buku kedua,berisi tentang ketentuan tindak pidana yang disebut dengan kejahatan (pasal 104  s.d. 488).
  • Buku ketiga,berisi tentang ketentuan tindak pidana yang disebut pelanggaran ( 489  s.d. 569).
  1. Pengaturan Hukum Pidana di luar KUHP
  1. Tindak pidana korupsi
Pengaturan tindak pidana korupsi berdasarkan Peperpu Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan tindak pidana korupsi, mulai berlaku pada tanggal 9 Juni 1960, kemudian ditetapkan menjadi UU Nomor 1 Tahun 1961 (LN Nomor 3 Tahun 1961) disebut UU Anti-Korupsi. Untuk bahan kajian sumber hukum tindak pidana korupsi dapat dilihat pada:
  • UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999;
  • UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotesme;
  • UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
  1. Tindak pidana subversi
Berdasarkan Penpres No. 11 Tahun 1963 tanggal 16 Oktober 1963, Pasal 1 merumuskan yang dimaksud tindak pidana subversi. Pasal 13 Penpres No. 11 Tahun 1963 menyatakan bahwa pelaku tindak pidana subversi diancam dengan maksimum hukum mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman selama-lamanya dua puluh tahun penjara. Sedangkan pasal 14 menyatakan bahwa benda baik milik maupun bukan milik terpidana yang diperoleh dari atau digunakan sebagai alat melakukan tindak pidana subversi, dapat dirampas. Contoh Keppres No. 133 Tahun 1965 tanggal 20 Mei 1965 menyatakan: “permainan lotere buntut sebagai tindakan subversi.6. Eksistensi hukum pidana adat
  1. Keberadaan Hukum Pidana Adat Indonesia
Diperiksa dari perspektif normatif, dimensi teoritis, dan praktis dari prinsip-prinsip dasar hukum dan keberadaan hukum pidana adat titik awal keberlakukan berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b UU Darurat No 1 tahun 1951 (LN Nomor 9 tahun 1951). Pada ketentuan sebagaimana disebutkan di atas, bahwa Hukum material sipil dan untuk sementara waktupun hukum pidana substantif berlaku hingga saat ini pegawai negeri kepada hamba-daerah kosong dan orang-orang yang pernah diadili oleh Pengadilan Adat, ada tetap berlaku bagi hamba-hamba dan orang dengan pengertian bahwa tindakan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap sebagai tindak pidana, tetapi tiada bandingnya dalam KUHP Perdata, itu dianggap dihukum dengan tidak lebih dari tiga bulan penjara dan / atau denda lima ratus dolar, sebagai pengganti hukuman tradisional dijatuhkan ketika tidak diikuti oleh pihak mengutuk dan penggantian dianggap setara oleh Hakim dari kesalahan dikutuk, bahwa ketika hukuman itu dijatuhkan hakim adat dibayangkan melampaui dia dengan hukuman penjara atau denda yang disebutkan di atas, maka kesalahan terdakwa dapat dihukum pengganti setinggi 10 tahun penjara, dengan pengertian bahwa gagasan adat hukuman, hakim tidak selaras lagi dengan waktu terus diganti seperti yang disebutkan di atas, bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum kehidupan harus dianggap sebagai tindak pidana yang tertandingi dalam Kode KUHP Perdata, maka dianggap diancam dengan hukuman sama dengan banding hukuman yang paling mirip dengan tindak pidana.Ada tiga (3) kesimpulan dasar ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b UU Darurat No 1 tahun 1951. Pertama, bahwa tindak pidana adalah custom tertandingi atau ekuivalen dalam KUHP yang tidak dianggap parah atau ringan pelanggaran kepabeanan ancaman pidana penjara paling lama tiga bulan dan/atau denda lima ratus dolar (setara untuk kegembiraan jahat), minimal yang diatur dalam Pasal 12 KUHP adalah 1 (satu) hari penjara dan denda minimal 25 sen sesuai dengan ketentuan Pasal 30 KUHP. Namun, untuk pelanggaran ancaman maksimum berat adat pidana 10 (sepuluh) tahun, sebagai pengganti hukuman adat tidak dilakukan oleh terdakwa. Kedua, ada banding pidana tradisional di Kode ancaman pidana Pidana dengan ancaman pidana yang ada dalam KUHP tindak pidana seperti adat Drati Kerama di Bali atau Mapangaddi (Bugis), Perzinahan (Makasar) sebanding dengan kejahatan perzinahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 KUHP. Ketiga, sanksi adat sebagaimana diatur dalam konteks di atas dapat digunakan sebagai hukuman pokok atau denda besar oleh hakim memeriksa, mengadili, dan memutus bertindak sesuai dengan hukum kehidupan (hukum yang hidup) dianggap sebagai tindak pidana yang tiada bandingnya di Pidana pelanggaran kode, sementara tidak ada perbandingan dalam sanksi KUHP harus dikenakan sesuai dengan ketentuan KUHP.Selain ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b UU Darurat No 1 Tahun 1951 berlakunya hukum dasar hukum pidana adat juga mengacu pada ketentuan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Secara eksplisit maupun implisit ketentuan Pasal 5 ayat (1), Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 meletakkan dasar eksistensi hukum pidana tradisional. Ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 menetapkan bahwa, “Keadilan dan Hakim Konstitusi wajib menggali, dan memahami nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat”, maka ketentuan Pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa, “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, tapi wajib untuk memeriksa dan menilai”, sesuai dengan ketentuan Pasal 50 ayat (1) menentukan, “Keputusan pengadilan selain harus mencakup alasan yang cukup untuk keputusan itu, juga mengandung pasal-pasal tertentu dari undang-undang yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang membentuk dasar bagi hakim “.Pada dasarnya, kalimat, “nilai-nilai hukum hidup dan rasa keadilan dalam masyarakat”, “hukum tidak ada atau kurang jelas”, “sumber hukum tidak tertulis yang membentuk dasar bagi hakim” mencerminkan baik tersurat maupun tersirat bahwa tradisional hukum pidana keberlakukan juga diatur dalam UU No 48 Tahun 2009.Selain kebijakan legislatif dari hukum pidana keberlakukan diatur dan dibahas dalam berbagai seminar hukum pidana adat untuk juga diarahkan reformasi hukum pidana nasional. Misalnya, dalam Laporan Nasional Criminal Justice Reform Simposium 1980, antara lain menyatakan, “… upaya reformasi hukum pidana yang didasarkan pada Politik Hukum Pidana dan aspirasi Pidana mencerminkan Politik nasional … Dalam hubungan ini harus menjadi proses reformasi melalui penelitian dan pengkajian yang mendalam (antara lain) pada: … hukum pidana adat dan keagamaan yang hidup dalam masyarakat Indonesia “. Kemudian di VI Hukum Nasional Seminar Laporan 1994 pada titik ditentukan bahwa, “hukum tertulis dan hukum tidak tertulis harus saling melengkapi”, dan huruf b menegaskan, “hukum tak tertulis pembentukan yang lebih” luwes “daripada pembentukan hukum tertulis, karena dapat mengatasi kesenjangan antara validitas dan efektivitas hukum”.Selain itu, keberadaan adat hukum pidana ditataran yurispudensi Mahkamah Agung juga diakui melalui penafsiran sifat hukum substantif terhadap kedua fungsi fungsi positif dan negatif. Dalam yurisprudensi Mahkamah Agung untuk menerapkan hukum substantif alam terhadap fungsi negatif yang ditetapkan dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 42 K/Kr/1966 tanggal 8 Januari 1966 atas nama terdakwa Machroes Effendi dimana Mahkamah Agung membenarkan penghapusan alam melawan hukum karena tiga faktor: negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani dan terdakwa tidak membuat keuntungan serta tindakan alam secara umum bisa hilang melawan hukum tidak hanya didasarkan pada ketentuan dalam undang-undang, tetapi juga didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan atau prinsip-prinsip hukum yang tidak tertulis. Pertimbangan dasar keberadaan hukum yang diakui (pidana) adat disebutkan oleh editorial sebagai berikut, bahwa Mahkamah Agung pada prinsipnya dapat membenarkan pendapat Pengadilan Tinggi, bahwa suatu tindakan dapat hilang pada sifat umum dari pertarungan hukum tidak hanya didasarkan pada ketentuan dalam undang-undang, tetapi juga didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan atau prinsip-prinsip hukum yang tidak tertulis dan umumnya dianggap sebagai Pengadilan Tinggi dalam kasus penipuan resmi dibuktikan oleh terdakwa.Dengan dimensi tolok ukur seperti di atas, maka dengan Effendi Machroes kasus ini muncul dengan yurisprudensi Mahkamah Agung No 42 K/Kr/1965 tanggal 8 Januari 1966 yang jelas menganut prinsip “tort substantif” (Materiile wederrechtelijkheid) di arti negatif. Sementara Mahkamah Agung yurisprudensi yang memegang gugatan fungsi positif yang terkandung dalam materi dalam kasus K/Pid/1983 Keputusan No 275 tanggal 29 Desember 1983 tentang nama terdakwa Drs. R.S. Natalegawa. Pada prinsipnya, yurisprudensi pertimbangan Mahkamah Agung keputusan futuristik dengan penafsiran palsu sudut pandang akal “melawan hukum” dari yudex facti diidentifikasi sebagai “melanggar aturan yang ada sanksi pidana”, seperti yang dinyatakan oleh redaksi berikut: “Menimbang bahwa, menurut penafsiran Mahkamah Agung istilah” melanggar hukum “tidak tepat, jika hanya dihubungkan dengan kebijakan kredit direksi menurut Pengadilan Negeri tidak melanggar hukum yang ada sanksi pidana, tetapi menurut pendapat yang telah dikembangkan dalam yurisprudensi, seharusnya hal itu diukur berdasarkan prinsip-prinsip hukum yang tidak tertulis, dan prinsip-prinsip yang bersifat umum sesuai dengan kesusilaan dalam masyarakat. “Konkretisasi dan pengakuan keberadaan rinci kesimpulan hukum pidana adat yang baik dalam undang-undang dan peraturan, forum ilmiah, pendapat doktrin dan yurisprudensi Mahkamah Agung.
  1. Prinsip Legalitas Bahan Dalam National Criminal Justice Reform
Pada dasarnya asas legalitas juga sering disebut dengan istilah “asas legalitas”, “legaliteitbeginsel”, “non-retroaktif”, “de la legalite” atau “ex post facto hukum”. Asas legalitas adalah prinsip yang paling penting dalam hukum pidana sebagai diucapkan oleh Dupont. [12] Dikaji dari perspektif hukum positif (ius constitutum) asas legalitas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang merupakan prinsip legalitas formal. Dalam RUU KUHP, dikaji dari perspektif asas legalitas constituendum ius baik legalitas formal dan legalitas bahan diatur dalam Pasal 1 RUU KUHP tahun 2008 yang berbunyi sebagai berikut:
  1. Tidak ada yang bisa dipenjarakan atau dikenakan tindakan apapun, kecuali tindakan yang diambil telah didefinisikan sebagai sebuah kejahatan di bawah hukum yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.
  1. Dalam menentukan keberadaan kejahatan dilarang menggunakan analogi.
  1. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Tanpa mengurangi hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang tidak boleh dihukum bahkan jika perbuatan itu diatur dalam undang-undang.
  1. Penerapan hidup dalam masyarakat hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan / atau prinsip-prinsip hukum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa secara umum.
Kemudian, bab demi bab penjelasan ketentuan Pasal 1 RUU KUHP rincian sebagai berikut:Ayat (1)Ayat ini mengandung asas legalitas. Prinsip ini menentukan bahwa suatu tindakan adalah kejahatan hanya jika diresepkan oleh atau berdasarkan hukum. Bekerja prinsip Oleh karena itu, asas legalitas merupakan prinsip dasar dalam hukum pidana. Oleh karena itu undang-undang yang mengandung sanksi pidana atau pidana harus sudah ada sebelum mereka berkomitmen. Ini berarti bahwa ketentuan pidana tidak berlaku surut untuk mencegah kesewenang-wenangan dalam penegakan hukum menuntut dan mengadili orang yang dituduh melakukan kejahatan.Ayat (2)Melarang penggunaan analogi dalam menentukan interpretasi aktivitas kriminal merupakan konsekuensi dari penggunaan asas legalitas. Interpretasi berarti bahwa analogi suatu perbuatan yang pada waktu itu bukan tindak pidana, tetapi diterapkan terhadap ketentuan pidana yang berlaku untuk tindak pidana lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama, karena kedua tindakan dianggap analog dengan satu sama lain. Dengan larangan penggunaan analogi ditegaskannnya ketidaksepakatan yang muncul dalam praktek selama ini bisa dihilangkan.Ayat (3)Ini adalah fakta bahwa di beberapa bagian Indonesia ada hukum tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat dan berfungsi sebagai hukum di daerah. Hal-hal seperti juga dalam bidang hukum pidana yang biasanya disebut oleh kebiasaan pelanggaran. Untuk memberikan dasar hukum yang kuat untuk berlakunya hukum pidana adat, maka akan pengaturan secara eksplisit dalam Kode Hukum Pidana. Ketentuan dalam ayat ini merupakan pengecualian dari prinsip bahwa ketentuan pidana diatur dalam undang-undang. Dia mengakui pelanggaran untuk lebih memenuhi rasa keadilan adat yang hidup dalam masyarakat tertentu.Ayat (4)Ayat ini mengandung pedoman atau kretaria atau pedoman dalam menentukan hukum materiil sumber (hukum yang hidup dalam masyarakat) yang dapat digunakan sebagai sumber hukum (legalitas bahan sumber). Pedoman dalam ayat ini nilai nasional dan internasional berorientasi.Ada beberapa catatan substansial adanya asas legalitas sebagaimana diatur dalam Pasal 1 RUU KUHP. Pertama, asas legalitas dalam Pasal 1 KUHP adalah prinsip legalitas RUU yang memperluas keberadaan dikenal asas legalitas formal dan asas legalitas bahan. Dalam rancangan KUHP asas legalitas formal yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) sedangkan asas legalitas substantif yang diatur dalam Pasal 1 ayat (3). Pada asas legalitas formal, dasar harus suatu perbuatan hukum dihukum yang ada sebelum perbuatan tersebut dilakukan. Maka prinsip legalitas bahan menentukan bahwa dasar harus sebuah tindakan hukum dihukum hidup dalam masyarakat yang bukan hukum tertulis atau hukum adat. Kedua, dalam rangka membangun tindak pidana dilarang menggunakan analogi (Pasal 1 (2) RUU KUHP). Penjelasan untuk Pasal Pasal Pasal 1 ayat (2) KUHP Bill menyatakan bahwa, “melarang penggunaan analogi dalam menentukan interpretasi aktivitas kriminal merupakan konsekuensi dari penggunaan asas legalitas. Interpretasi berarti bahwa analogi ke bertindak yang pada saat itu bukan tindak pidana, tetapi diterapkan terhadap ketentuan pidana yang berlaku untuk tindak pidana lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama, karena kedua tindakan dianggap analog dengan satu sama lain. Dengan larangan penggunaan analogi menekankan perbedaan pendapat yang timbul dalam praktek sejauh dapat dihilangkan”. Dalam analogi penafsiran sifat kepustakan hukum dimaksudkan jika suatu tindakan pada saat itu bukan merupakan tindak pidana, kemudian diterapkan ketentuan hukum pidana yang berlaku untuk kejahatan lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang mirip dengan tindakan, sehingga bahwa tindakan kedua dianggap analog dengan satu sama lain.Andi Hamzah mengatakan bentuk menjadi dua gesetz analogi analogi analogi perbuatan yang sama tidak terdapat dalam ketentuan pidana, dan recht analogi analogi dengan tindakan yang memiliki beberapa kesamaan dengan perbuatan yang dilarang berdasarkan ketentuan hukum pidana. Herman Mannheim menunjukkan adanya dua macam analogi. Pertama, analogi undag-undang atau gesetzes Analogie. Kedua, hukum atau analogi rechtsanalogie. Dalam penerapan hukum pidana yang memungkinkan analogi analogi hukum dan bukan hukum analogi. Namun demikian, sulit untuk membedakan antara analogi dan hukum undang analogi. M. Cherif Bassiouni, ada tiga kategori analogi dibagi. Pertama, analogi untuk membuat tindak pidana baru telah diduga tapi tidak didefinisikan oleh pembuat hukum. Kedua, analogi diterapkan ketika suara undang-undang ini tidak cukup jelas atau gagal untuk merumuskan unsur-unsur tindak pidana. Ketiga, analogi ini tidak berlaku untuk hukuman didifinisikan oleh legislator.Pada sistem dengan pendekatan positivisme yang ketat, asas legalitas memungkinkan analogi untuk penuntutan pidana, jika mereka masih dalam batas-batas yang ditetapkan oleh pembentuk undang-undang. Namun, sistem hukum untuk menerapkan asas legalitas yang sangat ketat, penggunaan analogi sepenuhnya dilarang, dengan aturan klausul yang diberikan mendukung Reo. Artinya, hakim telah memutuskan bahwa meringankan terdakwa.  Pada intinya, penerapan penafsiran analogi dalam hukum pidana menimbulkan perdebatan panjang. Ada kelompok yang menerima analogi, kelompok yang menentang penafsiran analogi dan ada kelompok yang tidak secara tegas menolak dan menerima analogi. Grup menyetujui penerapan argumen analogi untuk pengembangan masyarakat yang relatif cepat sehingga hukum pidana harus berkembang dengan perkembangan masyarakat. Sebagian besar negara Eropa melarang penggunaan analogi, dengan pengecualian Denmark dan Inggris yang memungkinkan penerapan analogi. Kemudian kelompok yang menentang aplikasi karena aplikasi penafsiran analogi analogi dianggap berbahaya karena dapat menyebabkan ketidakpastian hukum dalam masyarakat. Taverne, Roling, Pompe dan Jonkers menerima penerapan analogi dan Scholten, van Hattum, van Bemmelen, Moeljatno dan Jan Remmelink menentang penerapan analogi dalam hukum pidana dan Hazewinkel Suringa dan Vos tidak tegas menolak dan menerima analogi. Dalam praktik peradilan, pada tahun 1921 penerapan penafsiran analogi diterapkan dalam kasus pencurian listrik dengan memperluas definisi “barang” (goed) termasuk listrik. Praktek peradilan Indonesia melalui Pengadilan Tinggi Keputusan No 144/Pid/1983/PT Medan. Mdn telah menafsirkan Pasal 378 KUHP yang memperluas pengertian benda serta “keperawanan seorang wanita”.Selanjutnya Eddy O.S. Hiariej mengatakan bahwa ketentuan mengenai larangan menerapkan analogi adalah interminis kontradiksi bila dihubungkan dengan ayat (3) di mana seseorang dapat dihukum bahkan jika tindakannya tidak diatur dalam undang-undang. Oleh karena itu, untuk mengkriminalisasi tindakan yang tidak diatur dalam undang-undang, seperti itu atau tidak, hakim harus menggunakan analogi atau setidaknya penafsiran ekstensif. Bahkan, ada dasarnya ada perbedaan prinsip antara penafsiran ekstensif dengan analogi. [15] Ketiga, prinsip legalitas resmi dalam Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP tidak dapat diterapkan mutlak / absolut atau imperatif karena pengecualian sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3), (4) RUU KUHP . Keberadaan dan konsekuensi dari ketentuan Pasal 1 (3) RUU KUHP menjelaskan bahwa, “itu adalah fakta bahwa pada bagian tertentu dari Indonesia ada hukum tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat dan berfungsi sebagai hukum di daerah. Tersebut hal yang juga dalam bidang hukum pidana yang biasanya disebut oleh bea cukai pelanggaran. Untuk memberikan dasar hukum yang kuat untuk berlakunya hukum pidana adat, maka akan pengaturan secara eksplisit dalam Kode Hukum Pidana. Ketentuan ayat ini adalah pengecualian terhadap prinsip bahwa ketentuan pidana diatur dalam undang-undang. Dia mengakui pelanggaran untuk lebih memenuhi rasa keadilan adat yang hidup dalam masyarakat tertentu”.Kesimpulan dasar ketentuan Pasal 1 (3) RUU KUHP dengan pengakuan hukum yang hidup dalam masyarakat merupakan hukum tidak tertulis bahwa konsekuensi logis dari RUU KUHP pembentuk menarik hukum tidak tertulis dalam hukum formal. Implikasi aspek penegakan hukum yang membuat hidup di masyarakat akan dilakukan oleh negara melalui sub-sistem peradilan pidana. Hal ini dapat dimengerti karena polarisasi pemikiran membentuk Pidana Bill Kode 2008 dimulai dari monodualistik keseimbangan prinsip keseimbangan antara kepentingan / perlindungan individu (prinsip prinsip pribadi / culpabilitas) dengan manfaat / perlindungan (prinsip sipil) publik, keseimbangan antara formal dan material kretaria, dan keseimbangan antara aturan hukum dengan keadilan. Nilai / ide keseimbangan dalam RUU KUHP diikuti dalam menentukan apakah kejahatan selalu melawan hukum dianutnya sifat material yang melanggar hukum. Ketentuan Pasal 11 ayat (2) RUU KUHP menentukan, “untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, di samping tindakan dilarang dan dikenai sanksi hukum dan peraturan, juga akan melanggar hukum atau bertentangan dengan kesadaran masyarakat” dan ayat (3) menyatakan bahwa, “setiap tindak pidana selalu dianggap melawan hukum, kecuali ada pembenaran”. Polarisasi legislator berpikir dalam menentukan keselarasan mungkin akan bertanggung jawab harus memperhatikan perasaan hidup dalam masyarakat hukum. Kesimpulan, bertindak tidak hanya akan bertentangan dengan hukum dan peraturan, tetapi juga akan selalu melawan hukum. Tindakan yang bertentangan dengan hukum adalah perbuatan yang dianggap oleh publik sebagai tindakan yang tidak layak dilakukan. Bertentangan dengan ketentuan hukum yang menentukan, berdasarkan pertimbangan bahwa seseorang narapidana yang melakukan tindakan yang tidak adil melanggar hukum. Oleh karena itu, untuk dapat menjatuhkan pidana, hakim harus menentukan apakah tindakan selain transaksi dilakukan secara formal dilarang oleh undang-undang dan apakah tindakan ini juga bertentangan dengan hukum material, dalam hal kesadaran masyarakat. Ini adalah wajib untuk dipertimbangkan dalam keputusan. Oleh karena itu, ketentuan Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP mengimbangi ketentuan Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP. Sebenarnya, prinsip legalitas formal yang diimbangi dengan ketentuan asas legalitas bahan.Kemudian berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (4) dari RUU KUHP dijelaskan aturan hukum yang hidup dalam masyarakat di sepanjang garis dengan nilai-nilai Pancasila dan / atau prinsip-prinsip hukum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa secara umum. Artikel ini kemudian menyebutkan penjelasan itu, “ayat ini mengandung pedoman atau kretaria atau pedoman dalam menentukan hukum materiil sumber (hukum yang hidup dalam masyarakat) yang dapat digunakan sebagai sumber hukum (legalitas bahan sumber). Pedoman ini ayat nasional berorientasi dan nilai internasional. “Pada dasarnya, pedoman dalam ayat ini nilai nasional dan internasional berorientasi. Bila diterjemahkan, aspek ini sesuai dengan nilai-nilai nasional (Pancasila) berarti sesuai dengan nilai-nilai / paradigma moral religius, nilai / paradigma kemanusiaan / humanis, nilai / paradigma kebangsaan, nilai / paradigma demokrasi ( demokrasi) dan nilai / paradigma keadilan sosial. Kemudian tanda-tanda yang berbunyi, “sesuai dengan prinsip-prinsip umum hukum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa berakar pada” Prinsip umum hukum Diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa “yang terdapat dalam Pasal 15 ayat (2) ICCPR (Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Hak Politik). Adanya tanda-tanda, hukum yang hidup (hukum pidana adat) mendapat landasan untuk dihakimi dan sanksi adat setempat yang dapat dijatuhkan oleh pengadilan adalah nilai yang sesuai Pancasila dan / atau prinsip-prinsip hukum umum diakui oleh masyarakat internasional. Keempat, pembatasan formal yang tidak menerapkan asas legalitas secara absolut dan keseimbangan polarisasi pemikiran RUU monodualistik membentuk juga secara implisit mengadopsi KUHP bertentangan dengan ajaran hukum substantif dalam fungsi positif. Dalam literatur fiqih dan praktek peradilan terhadap ajaran sifat hukum substantif dalam fungsi positif berarti bahwa bahkan jika suatu tindakan tidak memenuhi rumusan delik dalam undang-undang, hakim dapat memvonis ketika perbuatan tersebut dianggap tercela, bertentangan dengan keadilan dan norma-norma sosial lainnya dalam kehidupan masyarakat.x

Comments

Popular posts from this blog

Materi Hukum Administrasi Negara

Diskusi Publik : "REVISI UNDANG UNDANG MD3 QUO VADIS DEMOKRASI INDONESIA? "

HMJ Ilmu Hukum Gelar Diskusi Publik